Oleh: Ida Raihan | 28 Januari 2016

Menanti Di Tepi Neraka

Cerpen: Ida Raihan
Ida RaihanIni sudah tahun ketujuh. November ke tujuh.
Kau pasti ingat, dan memang harus ingat. November tahun ketujuh ini meskipun bukan lagi milik kita, kau tetap tidak boleh lupa. Karena pada saat seperti ini, ditujuh tahun yang lalu, kau pamerkan sebuah surga. Surga yang kau bilang untuk wanita yang taat pada suaminya. Surga yang kau bilang bisa kumasuki dari pintu mana saja yang kusuka. Begitu manis kau menjanjikannya. Menurutmu itu adalah sabda nabi kita. Aku percaya, karena aku juga sering membaca sabda-sabda nabi mulia kita itu. Hanya saja, sabda yang suci jika keluar dari mulutmu, rasanya menjadi ternoda oleh perbuatanmu yang tak sejalan dengan sabda itu sendiri.

Bodohnya, bersamamu dulu, aku pun tidak jauh beda denganmu, Tidak mengenal kata dosa. Bagiku itu semua bukan persoalan dosa dan pahala, apalagi neraka dan surga. Tetapi hanya sebuah kebahagiaan dunia. Kau dan aku. Kita tak pernah lagi mengingati yang lain. Serasa hanya berdua saja di sini, dan tak ada yang perlu diingat.

“Ini juga tercatat di dalam firman, Dik.” Katamu. Aku terlena janji manismu. Wajar, kau seorang pengajar yang dituntut untuk pandai dalam berkata-kata. Dan kau pun telah begitu pandai memainkan kata-kata. Khususnya untuk merayu wanita. Sayang aku juga sama bodohnya. Hingga mudah saja kau ajak menikmati November berbungkus dengus yang membara. Menyerahkan penghormatan satu-satunya dengan suka rela, setelah kau janjikan hidup ini bahagia. Hidup ini adalah surga.

“Lalu mengapa kita tidak hidup secara sempurna?” Protesku kala itu. Mempertanyakan, jika hidup ini adalah surga dan bahagia, mengapa begini rupa jalannya. Aku diasingkan dari dunia. Dilarang berbincang dengan para tetangga, dan jika terpaksa bertemu mereka, dan mereka sempat bertanya ‘aku siapa’, maka kau paksa aku mengaku sebagai keponakan ayahmu. Bodohku lagi, aku menuruti saja perintahmu karena teringat ‘pintu surga mana saja yang bebas kumasuki’ dengan ketaatan kepada suami.

“Aku masih tinggal di rumah pemberian mertua, Dik,” Sahutmu. “Kehidupan kami masih ditunjang oleh mereka.” Ada luka di matamu. Mungkin juga sebuah dusta.
Aku sebenarnya tidak benar-benar bahagia. Aku menginginkan hidup sebagaimana umumnya orang berumah tangga. Menginginkan pemenuhan tanggungjawabmu sebagai suami. Aku tidak menyangka, jika ternyata kau hanya menginginkanku sebagai pemuas nafsumu tanpa peduli akan perasaanku. Kau menggumuli tubuhku tapi kau tidak pernah menginginkan nyawa tertanam di rahimku. Mengabaikan perasaanku yang mendamba menjadi seorang ibu, karena kau hanya menganggap aku sebagai wanita malammu, yang hanya kau datangi ketika kau tak puas dengan tubuh istrimu.

“Andai kita bertemu lebih dulu,” ucapmu, November tujuh tahun yang lalu. Saat kita baru bertemu. Kau merayuku agar mau menyerahkan tubuhku, dan mengorbankan segala hasratku demi nafsumu. Caramu memburu, menyampaikan penyesalan mengapa istrimu yang harus dipertemukan denganmu lebih dulu. Mengapa bukan aku. Saat kau mulai merajakan nafsumu. “Tentu, kaulah istriku, bukan wanita itu yang kini menjadi ibu anak-anakku.”
“Itulah takdir. Bukankah kau yang mengajarkanku untuk tidak berandai-andai?” Protesku ketika itu. Matamu sayu menatapku.
“Kau semakin cerdas.” Sahutmu.
“Tentu.” Sahutku. Setelah berkali-kali kau bodohi aku.

Hatiku bersyukur sekali. Jika saja ketika itu kau bertemu lebih dulu denganku dibanding wanita yang menjadi ibu anak-anakmu itu, pasti akulah yang akan kau perlakukan seperti istrimu itu. Rayumu itu pasti akan kau tujukan kepada wanita lain yang mulai menarik nafsumu untuk perselingkuhan bermadu. Menjadikan firman-firman Tuhan untuk menaklukkan wanita-wanita bodoh setelahku. Sabda-sabda nabi yang kau selewengkan untuk memuaskan nafsumu. Dan aku telah menyadari semua kebodohanku tunduk akan ucapan-ucapanmu.
Dan kini, tujuh tahun berlalu. Kau telah lama meninggalkanku. Membuatku tak lagi merindukan surga-surgamu. Semua sudah tak sama. Kau dan aku sudah beda cerita. Memang masih tentang kita, tetapi kau lebih berperan di dalamnya. Karena aku sudah tidak peduli lagi dengan pahala. Pahala dan surga yang pernah kau janjikan dulu. Tujuh tahun yang lalu. Telah kusadari, kau hanyalah seorang pendusta! Ya, pendusta. Kau si pendusta!

Aku sudah kehilangan kepercayaan kepadamu.
Kini, mengingatimu adalah gambaran neraka yang tampak jelas di pelupukku, bukan lagi kau dan aku, tetapi hanya kau saja. Ya, kau saja. Karena, kau pantas menjadi penghuni kekal di sana. Bersama penjahat sejenismu yang pernah ada.

Dulu kau mungkin terlupa, mendalilkan bahwa untuk menuju surga juga ada banyak langkah yang harus diusahakan sendiri oleh wanita. Begitulah kau, mungkin juga mereka yang jenisnya sama denganmu, jika sudah memiliki kemauan tak pernah berfikir tentang rasa. Mulutmu berbusa-busa mengatasnamakan agama. Katamu, kau akan membawa bahagia dalam rahmat-Nya. Tapi itu hanyalah dulu sebelum kau berhasil menikmati tubuhku. Dan menghisap maduku sepuasmu.

Surga yang kau janjikan, di tahun ketujuh ini telah berubah menjadi neraka. Karena kau telah menganggap semuanya permainan nafsu belaka. Kau tak mengerti bahwa di sini ada peran sebuah rasa. Rasaku yang dulu sempat membiru. Yang kini akan menghanguskanmu dalam sekejap deru amarahku.

Jika dulu kau anggap aku semanis madu, sekarang aku sudah bercampur dengan racun yang mematikan. Kau hanyalah laki-laki tak bernyali yang takut terhadap istri, tetapi berani coba-coba bermain api. Sayangnya kau salah memilih sosok pemeran wanita sebagai pemuasan nafsumu. Kau salah menjadikan aku sebagai tumbal, karena aku akan melawan dan balas menghancurkan seperti kau menghancurkan aku. Bukan aku yang memulakan, tapi egomu yang megajarkan. Maka, biarkan aku memutuskan. Api di dada ini telah membara.

Di tahun ke tujuh ini, semuanya telah berbeda. Kau yang telah merenggut milikku, lupa akan tanggung jawabmu sebagai pria beriman. Jangankan penanggungjawaban atas diriku, pengkhianatan yang kau ciptakan pada dia yang pertama pun tak lagi mengganggu nuranimu. Dosa dan pahala pun sudah tidak lagi menjadi pertimbangan bagimu. Kau bahkan tidak peduli lagi, tentang surga dan neraka. Yang kau pikirkan hanyalah kepuasan dunia. Dan kau akan terima akibatnya.

Telah aku persiapkan pembalasan yang pantas untukmu. Tak ada lagi gambaran surga di sini. Yang ada hanyalah neraka. Neraka yang kau cipta sendiri. Kau layak mendapatkannya.

Aku memang masih ingat akan kepedihanmu. Saat aku menuntut untuk kesempurnaan hidup kita. Karena aku adalah istrimu. Bukan keponakan ayahmu. Aku membutuhkan pengakuan sebagai istrimu, bukan pemalsuan status seperti perintahmu. Namun kau justru memutuskan untuk meninggalkanku.

“Aku akan terusir secara hina jika tetap mempertahankanmu, Dik.” Katamu, ketika kau hendak meninggalkanku waktu itu. Lagi-lagi menampakkan luka di dua bola mata hitammu. Ketika aku memohon pengakuanmu. Pengakuan sebagai wanita yang juga telah menjadi bagian dari hidupmu. Ah, pengecutnya kau. Mengapa tak seberani saat kau mengambilku sebagai selingkuhanmu, November tujuh tahun lalu? Saat dengan lantang kau ucap janji di pernikahan sirri itu? Kasihan sekali. Kau dan juga diri ini yang sama sekali tak kau hargai.
“Sekejam itu?” Protesku.
“Aku tidak ada pilihan.”
“Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu.”
“Lalu mengapa Mas tega meninggalku?”
“Karena hidupku ditopang oleh ekonomi mertuaku.”
Najis!
Sejak itu, runtuh sudah nilaimu di mataku. Ketika merayuku dulu, kau begitu fasih mengatakan bahwa Tuhan maha ada. Tuhan yang akan menyelamatkanmu dari istri pertama dan keluarganya. Tapi kini, kau sendiri tidak lagi memiliki keyakinan itu. Kau kemanakan imanmu? Sehingga kau membuangku setelah kau renggut maduku. Betapa menjijikkannya dirimu. Janjimu semua palsu. Kau si pendusta itu.
Dulu aku mengira kau adalah pahlawanku. Kau yang datang tepat pada 10 November, tujuh tahun yang lalu, bak pahlawan berkuda yang tangguh untuk meminangku. Hingga aku begitu pasrah kepadamu.

Namun kini aku tahu, kau hanya penipu. Aku menyesal telah menceritakan semua tentang kehidupanku kepadamu. Karena ternyata kau bukan apa-apaku. Aku menyesal telah menceritakan kehidupan keluargaku kepadamu, Karena ternyata kau hanya mencari-cari aibku. Aku menyesal telah menceritakan banyak hal mengenaiku kepadamu karena ternyata kau hanya memanfaatkan kelemahanku. Kau serupa iblis jantan yang hanya inginkan kehangatanku. Setelah kau obrak-abrik keperawananku, kau begitu mudah bilang selamat tinggal padaku. Kau bilang saatnya melepaskanku, karena kau tak mampu. Betapa najis dirimu. Lebih najis dari anjing yang menggonggong di pinggir jalan itu.

Maka demi detik ini, demi waktu ini, demi luka ini, kunanti kau di tepi neraka. Agar mudah bagiku mendorongmu di kedalamannya. Karena kau hanya layak menjadi penghuni di sana. Kau, bangsat tiada dua. Hanya layak menjadi penghuni neraka. Kau binatang bermuka dua. Aku menunggumu di sana, di tepi neraka yang kau sendiri menciptakannya, agar mudah bagiku, mendorong tubuhmu masuk ke dalamnya. Menyaksikanmu menggeliat bersama para setan pengkhianat!
Aku istri sirimu, menanti untuk menghukummu…

Ida Raihan
Lembah Hijau, Rabu, 30 Desember 2015 (20:55)

NOTE:
Dimuat di Radar Surabaya, 10 Januari 2016


Tinggalkan komentar

Kategori

vicka`s world

enjoy my life ^^

Beauty Newbie

Life Love Beuaty Everytime

Live. Laugh. Love

Live life for the moment because everything else is uncertain

Cindy Vania

This is our stories

alaniadita

Life & Travel Journal

Seni Hidup

=Ketidaksempurnaan Itu Cantik=

evRina shinOda

CORETAN LAIN BLOG EVRINA

TERANG DIARY

catatan sehari-hari terang

Right-Magic!

Merekah kedalaman dalam pikir

Cha Fitoria

Let's Love...

Catatan Kenangan

Serba-serbi jejak yang tertulis

Impossible

Selamat Datang , dan Terimakasih Telah Berkunjung

Bacotan Madi Amplang

karena kamu baca artikel ini,akan aku jadikan kamu istriku

Muhammad Sandri Amin SH

Berpikir Kritis, Menggali Kreatifitas, Jangan Pernah Mengeluh Dan Tetap Semangat, Serta Tetap Tersenyum Meski Terasa Pahit dan Menyakitkan

Math on Journey

PMRI Blog: mathematics is all around us

CERITA PRIBUMI

DARI SATU TEMPAT KE TEMPAT LAIN KITA BERCERITA DAN BERKARYA UNTUK INDONESIA